Sabtu, 22 Agustus 2015

Gerobakku, Istanaku [1]

“Gerobakku, Istanaku”
Oleh : F.R’eak

“Yamin, sini nak...” panggil Ibu dari tempat itu.
“Iya Bu...” sahutku.
“Ada apa Bu ?”
“Ini, ada sedikit makanan...Tapi jika makanan itu kamu tidak suka, jangan dimakan...” kata Ibu dengan lemas.
“Baik Bu...” jawabku.
Aku pun memakan makanan tersebut, dari bungkus makanan tersebut sudah terlihat, jika makanan itu bukan didapat dengan membeli. Bungkus yang sudah banyak sekali tembus minyak dan agak sedikit robek itu aku makan isinya. Memang tidak terlalu enak, tapi aku  sadar jika makanan ini didapatkan Ibu dengan susah payah. Ku lihat Ibu yang sedang mengelap keringat yang berkucuran itu, juga helaan nafas lelahnya.
“Nak, Ibu mau mandi... Kamu lanjutkan saja makannya...” kata Ibu lalu pergi.
Namaku Yamin, aku dan keluargaku hanya tinggal disebuah barang yang bisa berjalan. Kemana pun kami pergi, itulah rumah kami. Aku sadar, aku bukanlah anak orang kaya. Aku hanyalah anak orang yang tak punya apa-apa. Sehari bisa makan satu kali saja sudah cukup bagi keluarga kami. Pekerjaan Ayah dan Ibuku sangatlah mulia, mungkin hanya sebagian orang saja yang menganggap seperti itu. Selebihnya tidak. Sampah yang berserakan dijalan, ia bersihkan. Dan aku bisa hidup seperti ini karena sampah-sampah itu, bersyukurlah diriku ini. Meskipun begitu, keluarga kami sangatlah harmonis. Tidak ada pertengkaran sedikitpun di rumah ini. Terima kasih TUHAN, engkau telah memberikan semua ini pada keluargaku.
[Pagi hari pun tiba]
“Nak, bangun...” kata Ibu sambil mengusap kepalaku.
“Ayo kita sholat subuh...” lanjut Ibu.
“Hmmmmmm... Iya Bu, Yamin udah bangun...” kataku yang setengah sadar.
“Cepat ambil wudu...” kata Ibu yang sudah mengenakan pakaian sholat.
“Iyaa Bu...”
Sesampainya aku di sumur, aku timba air tersebut. Sungguh sangatlah menyedihkan. Tidak ada air bersih sedikitpun disini. Bahkan untuk mensucikan diri yang ingin bertemu dengan tuhan pun tiada. Hanya ada seember air yang sangatlah keruh. Tapi mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan lain. Mungkin tuhan pun tau kedaan ini dan bisa memaklumkan. Selesai wudu, kembalinya aku untuk sholat berjamaah.
“Ayo yah, kita mulai...” kataku yang masih berlinang air wudu diwajah.
“Iya...” jawab Ayah.
Aku selalu berdo’a pada Tuhan, agar keluargaku tetap harmonis seperti ini. Karena sesungguhnya bahagia yang paling bahagia adalah bisa berkumpul dengan keluarga, meski kemiskinan melanda, asalkan bisa bersama.
“Ayo Bu, Yah, kita berangkat...” kataku dengan semangat.
“Iya Ayooo...!” jawab Ayah dengan semangat juga.
Kegiatan kami sekeluarga setelah sholat subuh adalah mencari ridho Tuhan dengan mencari recehan sampah yang berserakan. Meskipun kotor dan bau, tapi tak masalah bagi kami. Toh kotor dan bau itu yang bisa menghidupi kami sekeluarga.
Aku, Ayah dan Ibu berpencar mencari tong-tong sampah. Hanya Ayah yang membawa rumah kami kemana-mana. Dan ketika siang tiba, kami berkumpul di Masjid biasa kami sholat. Tujuan seperti itu, agar sampah bisa terkumpul dengan banyak.
“Yah, Bu, Yamin pergi kesana yaaa... Assalamu’alaikum...” kataku langsung pergi.
“Wa’alaikum salam...” kata Ayah.
“Hati-hati nak...” sahut Ibu.
Aku biasa mencari sampah-sampah tersebut di daerah perumahan. Karena sampah-sampah disana lebih baik dari pada di perkampungan. Dengan tujuan agar bisa dipilah dengan baik dan dijual dengan mahal. Untung saja, aku kenal dengan satpam di sana. Jika tidak, aku bisa diusir olehnya.
[Sampai di perumahan]
“Assalamu’alaikum Pak...” sahutku.
“Wa’alaikum salam... Eh kamu Min, mau narik sampah lagi??” jawabnya dengan senyuman.
“Iya nih Pak, masih boleh kan...?” tanyaku.
“Boleh lah... Emangnya siapa yang mau ngelarang? Yaudah silahkan..” katanya.
“Oke deh Pak...” sahutku.
Aku akhirnya masuk kedalam perumahan tersebut. Diujung sana sudah terlihat bak sampah yang sudah terisi penuh. Ku berjalan agak cepat untuk menghampiri itu. Dan sesampainya aku disana, segera saja aku ambil sampah-sampah itu dengan kedua tanganku. Setelah karungku terisi sebagian, aku melanjutkan ke bak-bak sampah rumah lain. Di seberang sana aku melihat rumah tingkat 3, sangat mewah sekali. Dan disamping rumah itu terdapat bak sampah yang lumayan besar. Aku pun menghampirinya. Aku buka bak sampah tersebut dari tutupnya, dan terlihat ada sebuah koper berwarna hitam.
“Hah...? koper? Apa mungkin ini sudah dibuang...?” tanyaku dalam hati.
“Tapi masih bagus, berat lagi...” kataku dalam hati sambil memegang koper tersebut.
“Yasudahlah, aku bawa saja... lagi pula sudah masuk ke bak sampah...” kataku dalam hati.
Aku pun memasukan koper tersebut kedalam karung yang ku gemblok dipundakku. Setelah aku rasa berat, aku memutuskan untuk berkumpul lagi dengan Ayah dan Ibu.
Ditengah perjalanan, aku melihat pohon yang sangat rimbun daunnya. Kebetulan, aku memang sedang lelah, akhirnya aku memutuskan untuk istirahat sejenak dibawah pohon itu. Sejuk sekali rasanya, tapi sayang kebanyakan manusia tidak berfikir jika pohon itu sangatlah penting bagi kehidupan. Mereka hanya memikirkan kepuasannya saja, menebang dan menjualnya. Tidak dengan cara yang baik, yaa begitulah manusia, tidak pernah merasa puas dan tidak mau bersyukur.
[Di suatu tempat]
“Yamin, Ayo bangun nak...” terdengar suara Ibu.
“Yamin... Ayo bangun...” lanjut Ayah.
“Astagfirullah...” kataku sambil memegang kepala.
“Tadi kayak ada suara Ayah sama Ibu dehh...” kataku dalam hati.
“Ini dimana...? kenapa sepi...” lanjutku.
Akhirnya aku menelusuri tempat tersebut. Aku bingung, ini ada dimana. Perasaan, tadi aku sedang berbaring dibawah pohon. Kenapa sekarang ada diteras rumah. Dan tadi juga ada suara Ayah dan Ibu, lalu suara itu tiba-tiba hilang begitu saja. “Rumah siapa ini...” tanyaku dalam hati.
Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah tersebut.
Tok, tok, tok...
“Assalamu’alaikum...”
Belum lama aku mengucap salam, terbukalah pintu itu.
“Wa’alaikum salam...” jawabnya.
“Ibu...?”kataku kaget.
“Loh, kenapa...?kamu kok kaget begitu...?” tanya Ibu yang menggunakan pakaian mewah.
“Ibu kenapa ada didalem...? Ayah mana...?” tanyaku masih kaget.
“Kamu ini kenapa? Ini kan rumah kita... dan Ayahmu sedang ke kantor...” jawab Ibu santai.
“Ibu ngomong apa sih? Kita tuh gak punya rumah Bu...” kataku.
“Kamu abis kepentok apa nak... Coba Ibu lihat...” kata Ibu sambil melihat-lihat kepalaku dan mengelusnya.
“Ndak apa-apa kok, gak ada yang luka...” lanjut Ibu.
“Bu, sebenernya apa yang telah terjadi...? kenapa jadi seperti ini...?” tanyaku heran.
“Biar Ibu jelaskan didalem...” kata Ibu.
Aku pun masuk ke dalam rumah tersebut. Isinya sangatlah mewah sekali, ini baru pertama kalinya aku memasuki rumah yang semewah ini. Apa ini nyata, atau ini hanyalah mimpi belaka...?

[Ruang tamu]
“Duduk nak, biar Ibu jelaskan...” kata Ibu.
“Ini semua berkat kamu Nak... Kamu yang waktu itu menemukan sebuah koper yang berisi 100 miliar, beserta emas batangan. Kamu memangnya lupa...?” kata Ibu.
[aku mencari-cari keper itu dan memikirkan koper itu]
“Terus...?” tanyaku.
“Kamu yang bawa koper itu, kamu bilang itu nemu di bak sampah...” lanjut Ibu.
“Kapan aku bilang Ibu kalo aku nemu koper...? perasaan aku belom bilang ke Ibu...” kataku yang masih kebingungan.
“Baru sebulan yang lalu, kok kamu lupa sih nak...”  jawab Ibu.
“Sebulan yang lalu...?” tanyaku heran.
Apa ini nyata? Atau ini mimpi? Perasaan aku baru menemukan koper itu hari ini. Kenapa Ibu sudah tau dan dia bilang sebulan yang lalu? Ya Allah apa yang telah terjadi. Apa ini sebulan yang akan datang jika aku memberitahukan koper itu pada keluargaku? Atau ini mimpi? Aku bingung Ya Allah...
“Kepala Yamin pusing Bu...” jawabku sambil memegang kepalaku.
“Sebentar nak, Ibu ambilkan minum dulu...” kata Ibu lalu pergi ke belakang.
“Ini nak, minum....” kata Ibu lalu memberikan aku segelas air.
Apa ini...? kenapa kerongkonganku tak terasa jika ada air yang masuk. Aku tak merasa sedang minum. Apa yang terjadi, aku tak bisa merasakan air tetapi aku merasakan pusing yang teramat sangat.
“Bu, Yamin mau tidur aja...” kataku.
“Heh, jangan tidur disini... kamu kan punya kamar, sana pergi ke kamarmu...” suruh Ibu.
“Memangnya dimana kamarku Bu...?” tanyaku.
“Kamarmu saja kamu lupa, haduh... haduhhh...”
“Lurus, terus kekiri, abis itu naik tangga, lurus, terus ke kanan... Disitu kamar kamu...” lanjut Ibu.
“Kok jauh yaah...” jawabku sambil garuk kepala.
”Yasudah sanah cepat... Jangan sampe kamu tidur disini...” pinta Ibu.
“Iya Bu...” jawabku lalu pergi.
Begitu aku memasuki kamarku, aku terdiam. Tak kusangka, aku memiliki kamar sebegitu luas dan rapih. Kasur yang sangat empuk, yang pertama kali aku sentuh. Tv, kulkas, ac dan kamar mandi pun ada di dalam kamar ini. Dan yang lebih aku kaget, disana terdapat foto aku dan keluargaku berada di depan Ka’bah. Apa benar itu keluargaku dan aku...? karena foto tersebut membuatku bingung dan pusing, akhirnya aku pun tertidur.
[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar