Sebutir
Batu
Karya:
Asli Punya Gue, “Fahmy.R”
Ini kisah seorang anak yang
berperang terhadap kerasnya hidup. Dia hidup bersama kakeknya, kardus adalah
istana termegah buat mereka. Butiran-butiran sampah adalah uang bagi mereka.
Baunya sampah adalah oksigen bagi mereka. Tapi ada satu hal yang membuat orang
terkagum-kagum, walaupun mereka hidup seperti itu, ibadah tetap nomor satu.
Indra putus sekolah semenjak orang tuanya meninggalkan dirinya. Dia hanya bisa
sekolah sampai kelas 5 SD. Orang tuanya yang begitu tega meninggalkan dia, dan
meninggalkan Bapaknya yang sudah tua rentan.
~~~*Waktu
itu*~~~
“Pak, saya mau pergi
untuk mencari pekerjaan di kota. Saya gak mau nganggur gini terus, mau makan
apa kita kalo gini-gini aja. Saya titip Lasmi sama Indra ya Pak....” kata Ayah.
“Mau, pergi kemana
kamu? Mau kerja apa? Memangnya kerja didaerah sini ndak bisa??” jawab Kakek.
“Kalo disini cuma bisa
jadi kuli panggul, uangnya hanya sedikit. Saya mau ke kota saja lebih banyak
uangnya...” lanjut Ayah.
“Baik kalo memang
niatmu benar mau kerja, setiap bulan kirim uang untuk istri dan anakmu. Paham?”
jawab Kakek.
“Paham pak...” lanjut
Ayah.
Ayah yang lebih awal meninggalkan kami, saat itu aku
masih duduk dibangku kelas 4 SD. Ayah bilang padaku, kalau dia akan kembali
lagi kesini bersama-sama lagi, aku percaya itu. Sebulan kemudian ayah
mengirimkan surat dan uang kepada kami, kami sangat senang. Empat bulan ayah
mengirmkan uang, tapi dibulan kelima ayah tidak pernah memberikan uang dan juga
kabar. Sedangkan biaya sekolahku belum terbayar, ibu pusing memikirkan itu
semua. Akhirnya ibu pergi, dengan alasan ingin mencari ayah, juga ingin mencari
kerja.
Akhirnya kami hanya tinggal berdua, kakek memulung barang
bekas. Lumayan hasilnya untuk makan, juga untuk bayar kontrakan. Sekolahku
berantakan, karena aku gak tega ngebiarin kakek mulung sendirian. Aku putus
sekolah dikelas 5. Waktu itu pemilik kontrakan mendatangi kami, untuk menagih
uang sewa yang selama ini belum terbayar.
“Indra, mana orang tua
kamu? Tante mau ngomong..” kata pemilik kontrakan.
“Orang tua saya pergi
tante, belom pulang sampe sekarang. Lagi kerja dikota..” jawabku.
“Bohong kamu!
Kecil-kecil udah diajarin bohong! Mana orang tua kamu!” lanjutnya ketus.
Tak lama kemudian kakek
datang, dengan baju kokonya sehabis sholat zuhur.
“Ada apa ini
ribut-ribut...?” kata Kakek.
“Mana anakmu pak!”
jawabnya.
“Anakku dan menantuku
sedang pergi ke kota, mereka bekerja disana. Cucuku bukan pembohong...” jawab
Kakek membela.
“Besok kalian pergi
dari sini! Kontrakannya mau ada yang tempatin!” kata pemilik kontrakan.
“Tapii...” jawab kakek.
“Gak ada tapi-tapian!”
katanya langsung pergi.
“Kek, kalo kita diusir
dari sisni, kita mau tinggal dimana kek...” kataku dengan sedih.
“Sudahh cu, pasti ada
jalan... minta sama Allah..” kata Kakek sambil memelukku dan menangis.
Esok harinya kita pergi dari rumah itu, kakek bingung mau
kemana lagi, gak punya rumah dan gak punya pekerjaan. Dalam perjalanan, aku dan
kakek berhenti dimasjid dan menginap semalam dimasjid. Semalaman kakek berdoa
kepada Allah, agar diberi kemudahan. Karena merasa tidak enak, akhirnya kami
melanjutkan perjalanan. Kami belum makan selama sehari, perutku terasa sakit.
Namun kakek selalu membuatku kuat.
“Kek.. aku lapar...
perutku sakit kek... kapan kita makan...” kataku sambil menangis.
“Sabar cu.. sabar,
nanti kita makan kok.. yang sabar yahh cu...” jawab kakek sedih.
Lalu sampai ditempat yang menurut kami cocok. Disana
banyak sekali pepohonan, dan jauh dari keramaian. Kakek memutuskan untuk tinggal
disitu. Karena kami tidak mempunyai apa-apa, kakek mencari kardus bekas untuk
dijadikan tempat berlindung kami untuk sementara. Kami tinggal ditempat yang
sangat mewah, yang atap dan alasnya terbuat dari kardus. Kami akhirnya memulung
barang-barang bekas, yang bisa menghidupkan kami.
Suatu
hari aku memulung ditempat sampah, dan didalam tempat sampah tersebut ada satu
bungkus nasi yang baru saja dibuang oleh orang. Aku mengambil nasi tersebut dan
membawanya pulang. Sampai dirumah, aku dan kakek memakan nasi tersebut. Hari
ini hasil pulunganku tidak banyak, karena aku memulung sendiri, kakek sedang
sakit dirumah. Jadi, terpaksa aku mengambilnya.
“Kakek... aku bawa ini
kek..” kataku sambil menunjukan nasi bungkus tersebut.
“Apa itu cucuku..?”
tanya Kakek.
“Hari ini hasil
pulunganku sedikit, jadi tidak bisa dijual kek. Tapi aku nemu ini ditempat
sampah, belum basi kok kek.. masih baru...” kataku.
~~~*Kakek
menangis mendengar perkataanku*~~~
“Kakek kenapa
nangis...?” tanyaku.
“Ndakkkk... yasudah
kalau begitu...” jawab kakek sambil menghapus air mata dipipinya.
“Ayoo kek kita makan,
kakek belum makan kan? Ayo kek..” kataku.
Aku beruntung, masih ada orang yang mau sedekah kepadaku.
Walaupun sedekahnya tidak secara langsung. Tidak peduli dapat dari mana makanan
tersebut, asalkan aku dan kakek bisa hidup dan masih bisa beribadah, itu sudah
cukup.
Suatu
hari aku memulung didekat masjid bersama kakek. Namun masjid tersebut belum
selesai dibangun. Aku ingin rasanya bersedekah untuk pembangunan masjid
tersebut, tapi aku tidak memiliki banyak uang. Makanpun masih mencari di
tong-tong sampah jalanan. Tapi aku yakin kalau aku bisa sedakah untuk masjid
itu walau hanya sebuah batu.
“Kek, nanti kalau kita
punya uang, kita sedekahkan untuk masjid itu yaa...” kataku sambil tersenyum
manis.
“Iya cucukku, insya
Allah. Niatmu sudah bagus untuk sedekah, walaupun kita tidak memiliki banyak
harta..” kata kakek tersenyum.
Setiap malam aku selalu berdoa kepada Allah, agar aku
bisa sedekah untuk pembangunan masjid tersebut. Setiap pagi, aku bersemangat
untuk mencari barang-barang bekas yang akan aku jadikan uang. Untuk makan,
minum dan kebutuhanku dan kakek, dan juga untuk bersedekah ke masjid tersebut.
Akhirnya setelah susah payah mengumpulkan uang, aku bisa
bersedekah untuk masjid tersebut. Aku pergi kemasjid tersebut, dan menemui
orang yang sedang membangun masjid itu dan memberikan sesuatu kepadanya.
“Asaalamu’alaikum...”
sapaku.
“Wa’alaikum salam, ada
apa dek...?” tanyanya.
“Pak, aku boleh
bersedekah untuk masjid ini..?” tanyaku.
“Ohh boleh dek, kami
sangat menerima sedekah apapun, walau hanya sedikit tetapi akan bernilai pahala
dari Allah...” jawabnya.
“Tetapi, apa bapak
tidak marah, jika saya bersedekah...?” tanyaku.
“Lohh kenapa marah?
Memangnya siapa yang melarang untuk bersedekah...?” jawabnya.
“Pak, saya hanyalah
orang miskin yang ingin sekali bersedekah untuk masjid ini. Saya ingin sekali,
rumah Allah ini terlihat indah, tetapi saya hanya bisa memberi ini... hanya ini
yang saya punya, semoga masjid ini cepat selesai pak...” kataku sambil memberi
3 buah batu bata.
Bapak tersebut menerimanya dengan terharu. Tidak bisa
menahan tangisannya. Begitu besar cita-citanya untuk bersedekah. Walaupun hanya
3 buah batu, namun sangatlah berarti. Anak tersebut hanyalah orang miskin yang
hidup menderita. Namun keinginannya sangatlah besar. Cobalah kita intropeksi
diri kita, kita lebih memiliki apapun dari anak tersebut, namun Apakah Kita
Bisa Seikhlas Anak Tersebut Untuk Bersedekah??? Pertanyaan ini yang harus kalian
tanya kepada hati kecil kalian...
Semoga
cerita tersebut bisa membukakan hati kecil anda semua....
Nilailah
diri anda dahulu, sebelum menilai orang lain.....
Thanks For :
1. Allah Swt.
2. Paskabara
3. Home is the best
4. MAN 8 JakTim
5. My Agen ( Angga Rahman & Nurdiansyah)
6. My Agen : Syafiq Fuadi M & Bahaudin Hasan Al-Bisri
7. Thanks For Inspiration..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar